Beranda | Artikel
Ruju Menuju Kebenaran
Rabu, 16 Desember 2020

RUJU’ MENUJU KEBENARAN

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari

Bersih dan terbebas dari dosa bukanlah syarat orang beriman dan bertakwa. Di dalam al-Qur`ân, Allah Ta’ala banyak menjelaskan sifat-sifat orang-orang yang bertakwa. Di antaranya, orang yang bertakwa itu terkadang berbuat dosa dan kesalahan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. [Ali ‘Imran/3:135].

Demikian juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, di antara sifat manusia ialah banyak berbuat dosa dan kesalahan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Semua anak Adam banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang-orang yang banyak berbuat kesalahan ialah orang-orang yang banyak bertaubat.[1]

Dengan keberadaan manusia yang memiliki sifat berbuat dosa, maka sesungguhnya terdapat hikmah yang besar. Yaitu ia akan mengakui dosanya dan kerendahannya di hadapan Allah. Manusia akan bertaubat dan beristighfar dengan merendahkan diri di hadapan-Nya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hikmah dosa pada manusia dengan sabda beliau:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ فَيَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ

Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya! Seandainya kamu tidak berbuat dosa, Allah benar-benar akan menghilangkan kamu, dan pasti akan mendatangkan suatu kaum yang mereka akan berbuat dosa, lalu mereka akan memohon ampun kepada Allah, maka Dia akan mengampuni mereka.[2]

Sehingga, dikarenakan setiap manusia pasti banyak berbuat kesalahan dan dosa, maka menjadi kewajibannya untuk segera beristighfar dan bertaubat kepada Allah.

RUJU’ MENUJU KEBENARAN BUKAN SIKAP PLIN-PLAN
Setelah mengetahui sifat manusia, maka kita memahami bahwa ruju` menuju kebenaran setelah berbuat kesalahan merupakan sikap mulia. Namun sebagian orang dikuasai oleh kesombongan terhadap dosa yang terlanjur dilakukannya, sehingga ia tidak pernah mau menarik kembali pendapatnya atau merubah sikapnya, walaupun telah jelas menyelisihi nash-nash syariat. Sikap seperti ini sesungguhnya merupakan salah satu sifat dari orang-orang munafik.

Allah Ta’ala berfirman:

وَاِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ اللّٰهَ اَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْاِثْمِ فَحَسْبُهٗ جَهَنَّمُ ۗ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ  

Dan apabila dikatakan kepadanya “bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh Neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.[al-Baqarah/2:206].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini, bahwasanya jika orang yang durhaka dalam perkataan dan perbuatannya ini (yakni orang munafik yang membuat kerusakan di muka bumi, pen.) dinasihati dan dikatakan kepadanya “bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan perkataanmu dan perbuatanmu, kembalilah menuju al-haq,” maka ia enggan dan dikuasai oleh kesombongan dan kemarahan disebabkan dosanya. Yaitu dengan dosa-dosa yang menyelimutinya. Ayat ini serupa dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَاِذَا تُتْلٰى عَلَيْهِمْ اٰيٰتُنَا بَيِّنٰتٍ تَعْرِفُ فِيْ وُجُوْهِ الَّذِيْنَ كَفَرُوا الْمُنْكَرَۗ يَكَادُوْنَ يَسْطُوْنَ بِالَّذِيْنَ يَتْلُوْنَ عَلَيْهِمْ اٰيٰتِنَاۗ قُلْ اَفَاُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِّنْ ذٰلِكُمْۗ اَلنَّارُۗ وَعَدَهَا اللّٰهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ

Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami di hadapan mereka. Katakanlah: “Apakah akan aku kabarkan kepadamu yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka?” Allah telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. Dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.[al-Hajj/22:72].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam ayat ini: “Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh Neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya”, yaitu neraka Jahannam itu cukup sebagai balasan pada perkara itu”. (Tafsir surat al-Baqarah/2 ayat 206). Padahal, semestinya orang yang beriman itu bersih dari sifat sombong. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan akibat buruk dari sikap sombong dari hati setiap orang yang beriman. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi”. Seorang laki-laki bertanya: “Ada seseorang suka bajunya bagus dan sandalnya bagus (apakah termasuk bersikap sombong?)” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai keindahan. Bersikap sombong, ialah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”.[3]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, kibr (sombong), ialah meninggikan diri. Seseorang meyakini dirinya sebagai orang yang besar, kedudukannya di atas orang lain, dia merasa memiliki kelebihan dari orang lain. Kesombongan ada dua macam, bersikap sombong terhadap al-haq dan sombong terhadap makhluk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kedua macam sikap sombong itu dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “(Yang disebut) bersikap sombong, ialah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”.

Yang disebut ghamthun-nâs, yaitu merendahkan manusia, meremehkannya, tidak memandang manusia sedikitpun, dia melihat dirinya di atas mereka. Adapun batharul-haq, yaitu tidak menerima kebenaran dan menolaknya, serta berpaling darinya. Bahkan menolaknya, dikarenakan percaya terhadap diri dan pendapatnya sendiri. Sehingga menganggap dirinya lebih besar dari al-haq. Tanda-tanda bersikap sombong ini, yaitu seseorang yang didatangkan kepadanya dalil-dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah, dan dikatakan kepadanya: “Ini Kitab Allah, ini Sunnah Rasulullah,” namun ia tidak mau menerimanya, bahkan terus memegangi pendapatnya. Maka sikap seperti ini merupakan penolakan terhadap kebenaran. Kita memohon perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla dari sikap tercela ini.

Kebanyakan orang terbiasa membela diri. Jika telah berpendapat dengan satu pendapat, maka  tidak mungkin ia meninggalkannya, walaupun telah melihat kebenaran itu berbeda dengan pendapatnya. Sikap seperti ini menyelisihi akal dan syari’at. Karena yang wajib, seseorang itu hendaklah kembali terhadap kebenaran dimana saja ia dapatkan, walaupun kebenaran itu menyelisihi (berbeda dengan) pendapatnya. Hendaklah ia kembali kepadanya, karena sesungguhnya ini lebih mulia bagi dirinya di sisi Allah dan di sisi manusia, lebih selamat dan bebas terhadap tanggungannya.

Janganlah engkau menyangka, jika engkau meninggalkan pendapatmu menuju kebenaran, itu akan menjatuhkan kedudukanmu di hadapan manusia. Bahkan ini akan meninggikan kedudukanmu, dan orang-orang pun akan mengetahui bahwa engkau tidak mengikuti kecuali kebenaran. Adapun orang yang terus memegangi pendapatnya dan menolak kebenaran, maka orang ini adalah orang yang sombong, dan kita berlindung kepada Allah.[4]

Benarlah yang telah dikatakan Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah. Sebagian orang menyangka kedudukannya akan jatuh disebabkan merubah pendapat atau sikapnya, atau khawatir dituduh plin-plan (tak memiliki pendirian). Anggapan ini merupakan kesalahan, karena ruju’ menuju kebenaran merupakan keutamaan. Bahkan menunjukkan orang tersebut mengikuti kebenaran disebabkan bertambahnya ilmu pada dirinya.

Dahulu, sikap semacam ini pernah terjadi di sebagian kalangan yang fanatik terhadap madzhab (pendapat seorang ‘alim). Yaitu menuduh plin-plan terhadap seseorang yang menyelisihi madzhab dengan hujjah syar’iyah (argumen agama dan dalil). Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah  t memberikan bantahan terhadap sikap tersebut. Syaikhul-Islam mengatakan, bahkan Imam Abu Hanifah dan para imam yang lain menyatakan suatu pendapat, kemudian menjadi jelas baginya bahwa hujjah menyelisihi pendapatnya, maka beliau pun berpendapat dengan hujjah itu, dan tidak dikatakan kepada beliau (sebagai) “orang yang plin-plan”. Karena manusia itu terus menuntut ilmu dan iman. Sehingga, jika suatu ilmu menjadi jelas baginya, yang sebelumnya tidak diketahui olehnya, maka ia pun mengikutinya. Orang yang seperti ini bukan plin-plan, bahkan ia mengikuti petunjuk, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menambah petunjuk baginya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَقُلْ رَّبِّ زِدْنِيْ عِلْمًا

(Katakanlah: “Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” -Thaha/20 ayat 114). Oleh karena itu, kewajiban atas setiap mukmin ialah mencintai dan membela orang-orang mukmin dan ulama mereka, dan mencari al-haq serta mengikutinya di manapun dia mendapatkannya.[5]

TELADAN SALAFUSH-SHALIH
Jika memperhatikan perjalanan para salafush-shalih, maka kita akan mendapatkan banyak sikap-sikap mulia dalam masalah ini. Para salafush-shalih tidak malu untuk ruju` dari kesalahan menuju kebenaran, jika memang dalil-dalil menunjukkan kesalahan pendapat atau sikapnya. Walaupun orang yang meluruskan kesalahan itu muridnya, atau bahkan orang yang tidak dikenal.

Alangkah agungnya perkataan Imam Muhammad bin Idris, yang masyhur dengan nama Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam masalah ini. Beliau rahimahullah berkata: “Tidak ada seorangpun kecuali Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang hilang darinya. Maka pendapat apapun yang telah aku katakan, atau prinsip apapun yang telah aku tetapkan, padahal padanya terdapat (hadits) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi apa yang telah aku katakan, maka perkataan (yang harus dipegangi) adalah perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan itu juga perkataanku”.[6] Demikian ini, sesungguhnya merupakan manhaj yang ditempuh oleh para imam kita yang shalih. Dan berikut ini di antara mutiara-mutiara sikap mereka yang pantas diteladani oleh generasi berikutnya.

Ibnu Wahb, seorang murid Imam Malik bin Anas, mengatakan: “Aku pernah mendengar Imam Malik ditanya tentang menyela-nyela jari dua kaki dalam berwudhu’?”
Beliau menjawab: “Itu tidak dikenal orang orang-orang”.
Aku membiarkan beliau sehingga orang-orang sepi. Lalu aku berkata kepada beliau: “Kami memiliki Sunnah dalam perkara itu?”
Beliau bertanya: “Apa itu?”
Aku berkata: “Telah bercerita kepadaku Laits bin Sa’ad, Ibnu Lahi’ah, dan ‘Amr bin al-Harits, dari Yazid bin ‘Amr al-Mu’aafiri, dari Abu ‘Abdurrahman al-Hubuli, dari Mustaurid bin Syaddaad al-Qurasyi, ia berkata: ‘Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggosok antara jari-jarinya dengan jari kelingkingnya,’ maka beliau berkata: ‘Sungguh, hadits ini hadits hasan. Dan aku tidak pernah mendengarnya kecuali saat ini,’ setelah itu aku mendengar beliau ditanya, maka beliau memerintahkan  menyela-nyela jari”.[7]

Contoh lainnya adalah ketika terjadi diskusi antara Imam Malik bin Anas (beliau termasuk ulama Madinah) dengan Imam Abu Yusuf (beliau termasuk ulama Irak) -semoga Allah merahmati keduanya- tentang ukuran sha`.

Imam Abu Yusuf  mengikuti gurunya, yaitu Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa satu sha` sama dengan 8 Rithl ukuran Irak. Sedangkan penduduk Hijaz dan para fuqaha ahli hadits, seperti Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, dan lainnya, menyatakan bahwa satu sha` sama dengan lima dan sepertiga Rithl ukuran Irak.

Ketika Imam Abu Yusuf bertanya kepada Imam Malik tentang ukuran sha’ dan mudd, maka Imam Malik memerintahkan penduduk Madinah mendatangkan takaran-takaran sha’ kepada beliau, sehingga terkumpul banyak takaran sha’ Madinah. Begitu Imam Abu Yusuf telah hadir, maka Imam Malik bertanya kepada seorang penduduk: “Dari mana sha’ kamu ini?”

Dia menjawab: “Bapakku bercerita kepadaku, dari bapaknya, bahwa dia membayar zakat fithri dengan sha’ ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.

Orang yang lain berkata: “Ibuku bercerita kepadaku, dari ibunya, bahwa dia membayar shadaqah kebunnya dengan sha` ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.

Orang yang lain lagi berkata seperti itu. Begitu pula orang yang lainnya lagi berkata seperti itu.

Kemudian Imam Malik bertanya kepada Imam Abu Yusuf: “Apakah Anda berpendapat, mereka ini berdusta?”

Imam Abu Yusuf menjawab: “Tidak! Demi Allah, mereka tidak berdusta”.

Imam Malik berkata: “Dan aku telah mengukur ini dengan ukuran Rithl kamu, wahai penduduk Irak, dan aku mendapatinya lima dan sepertiga”.

Imam Abu Yusuf berkata kepada Imam Malik: “Aku telah ruju` kepada pendapat Anda, wahai Abu ‘Abdullah.[8] Seandainya sahabatku (yaitu Imam Abu Hanifah, pen.) melihat yang aku lihat, niscaya beliau ruju` sebagaimana aku telah ruju.[9]

Dari kisah dialog ini, kita bisa mengetahui bahwa di antara prinsip manhaj Salaf kita yang shalih, yaitu bersegera menuju jalan kebenaran, tidak menuruti jiwa dan hawa nafsu semata. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing kita kepada ilmu nafi’ dan amal shalih, dan menganugerahkan keikhlasan dalam segala perkara. Semoga Allah Azza wa Jalla juga menjaga kita dari keburukan jiwa, hawa nafsu dan dari godaan setan.

Wallahul-Musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] HR at-Tirmidzi no. 2499, Ibnu Majah, Ahmad, ad-Darimi. Dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albâni.
[2] HR Muslim, no. 2749, dari Abu Hurairah.
[3] HR Muslim, no. 2749, dari ‘Abdullah bin Mas’ud.
[4] Lihat Syarah Riyadhush-Shâlihin, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin, Darul- ‘Aqîdah, (2/469-470), secara ringkas.
[5] Majmu’ Fatâwâ (22/253).
[6] Riwayat Ibnu ‘Asakir di dalam Tarikh Dimasyq. Dinukil dari al-Inshaf fî Ahkâmil-I’tikaf, Syaikh ‘Ali al-Halabi, hlm. 28.
[7] Taqdimah al-Jarh wat-Ta’diil, Ibnu Abi Hatim, hlm. 31-32. Dinukil dari al-Inshaf fî Ahkâmil-I’tikaf, Syaikh ‘Ali al-Halabi, hlm. 28-29.
[8] Abu ‘Abdillah ialah kunyah atau panggilan Imam Malik.
[9] Majmu’ Fatâwâ (21/54). Faidah ini diperoleh dari kitab Ma’alim fî Thariqil-Ishlah, Syaikh ‘Abdul- ‘Aziz bin Muhammad as-Sudhân, Darul-‘Ashimah, hlm. 24.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/25622-ruju-menuju-kebenaran-2.html